PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL

Abstrak

A. Pendahuluan

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

C. “Constitutional Complaint” dan Perwujudan Negara Hukum

D. Pengaturan Penanganan “Constitutional Complaint” di Indonesia

E. Penutup

PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL

DENGAN MEKANISME “CONSTITUTIONAL COMPLAINT”

MELALUI MAHKAMAH KONSTITUSI

(Oleh : Slamet Riyanto, SH.*)

Abstrak

Negara Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum memberikan pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945. Namun, perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar, belum mendapatkan mekanisme konstitusionalnya. Di beberapa negara, penanganan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang diajukan oleh warga negara ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, akan tetapi belum mengakomodasi mengenai penanganan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang diajukan warga negara.

Berdasarkan perkembangan kehidupan bernegara, kebutuhan akan penanganan constitutional complaint dipandang sudah perlu untuk ditetapkan pengaturannya. MK merupakan lembaga negara yang dirasa tepat untuk diberi wewenang menangani constitutional complaint. Penambahan kewenangan kepada MK bisa dilakukan dengan amandemen UUD 1945 oleh MPR. Dengan mengakomodir constitutional complaint ke dalam konstitusi, maka perlindungan hak-hak konstitusional akan memperoleh jaminan dan kepastian dalam pelaksanaannya, bukan sekedar normatif saja.

Keywords : Mahkamah Konstitusi, constitutional complaint.

* Dosen PNS Dpk pada STIH Muhammadiyah Kotabumi.

A. Pendahuluan

Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang sudah lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. Konstitusi adalah hukum dasar, hukum tertinggi (de hoogste wet) dan kesepakatan yang mengatur bekerjanya suatu mekanisme kekuasaan termasuk hubungan antara organ-organ negara dengan warga negara. Konstitusi dalam negara modern merupakan suatu bentukan kesepakatan yang meliputi tiga hal yakni kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi, kesepakatan yang berkenaan dengan bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaanya, hubungan-hubungan antar organ negara satu sama lain, serta hubungan antara organ negara dengan warga negara (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 23-24).

Istilah konstitusi sebenarnya tidak hanya dipakai untuk menunjuk pada satu pengertian saja. Dalam praktek, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia, selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah undang-undang dasar. Konstitusi dan undang-undang dasar sering kali memiliki batasan yang berbeda, walaupun keduanya sama-sama menunjuk pada pengertian hukum dasar. Secara umum konstitusi menunjuk pada pengertian hukum dasar tidak tertulis, sedangkan undang-undang dasar menunjuk pada pengertian hukum dasar yang tertulis.

Di Indonesia pernah memakai kedua istilah tersebut, yaitu pada tahun 1945 dan tahun 1950, hukum dasar negara Indonesia diberi nama dengan istilah “Undang Undang Dasar”, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Dasar Sementara 1950. Sedangkan pada tahun 1949, negara Indonesia menggunakan istilah konstitusi untuk menyebut hukum dasarnya, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, perbedaan istilah antara konstitusi dan undang-undang dasar tidak menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.

Pada umumnya, materi konstitusi atau undang-undang dasar mencakup tiga hal yang fundamental, (Sri Sumantri, 1987 : 2) yaitu :

  1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya,
  2. ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental,
  3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

Lahirnya konstitusi atau undang-undang dasar merupakan akibat munculnya gagasan demokrasi konstitusional yang menyatakan bahwa pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Negara yang konstitusional digambarkan sebagai lembaga negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan bagi hak-hak asasi manusia, serta pengendalian dan pengaturan kekuasaan (Taufiqurrohman Syahuri, 2004 : 15). Dengan demikian konstitusi dimaksudkan untuk alat pembatas kekuasaan dalam penyelenggaraan sebuah negara.

Gagasan konstitusi sebagai alat pembatas kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan gagasan perlindungan hak asasi manusia, negara demokratis dan negara hukum. Konstitusi merupakan kristalisasi normatif atas tugas negara dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batas-batas kekuasaan secara hukum yang diarahkan bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan (Moh. Mahfud MD, 2003 : 142). Pada kondisi inilah sistem kekuasaan negara akan disebut demokratis.

Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, telah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 seiring dengan tuntutan reformasi. Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat dituntaskan dalam perubahan keempat dengan nama resmi “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Perubahan UUD 1945 telah mengindikasikan adanya kemajuan terutama terkait dengan semangat penguatan sendi-sendi demokrasi termasuk penjaminan terhadap kebebasan sipil. Penguatan sendi-sendi demokrasi tercermin dalam mekanisme penyelenggaraan ketatanegaraan yang terkait dengan hubungan antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif secara berimbang, atau dengan kata lain telah terdapat hubungan check and balances antara ketiga lembaga negara tersebut.

Jaminan terhadap kebebasan sipil atau perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945 yang telah diamandemen dapat terlihat dalam pengaturan mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam pasal 28A sampai pasal 28J sebagai penambahan dari ketentuan tentang hak asasi manusia. Satu capaian penting lainnya dari amandemen UUD 1945 adalah kehadiran lembaga negara baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK) yang memegang kekuasaan di bidang kehakiman selain Mahkamah Agung. Pertanyaannya adalah bagaimana perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara apabila dilanggar, dan bagaimana kewenangan MK terhadap pengaduan konstitusional dari warga negara.

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Dalam UUD 1945 Pasal 24 Ayat (2) menyebutkan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai kekuasaan dalam bidang kehakiman.

Dari perspektif ide, setidaknya ada empat hal yang melatar belakangi pembentukan MK, yaitu (1) sebagai implikasi faham konstitualisme; (2) perwujudan mekanisme checks and balance; (3) penyelenggaraan negara yang bersih; (4) perlindungan hak asasi manusia (Ni’matul Huda, 2003 : 233). Dari latar belakang tersebut, bisa disebutkan alasan keberadaan MK dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem pemerintahan, bukan untuk menjaga dan menegakkan konstitusi, seperti umumnya pada negara lain.

Secara garis besar kewenangan, kewenangan yang diberikan kepada MK pada umumnya dapat dibagi menjadi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi (1) pengujian undang-undang terhadap UUD; (2) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa atau lazim disebut dengan constitutional complaint; (3) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara yang satu dengan yang lainnya. (Fajar Laksono, 2007 : 128-146).

Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 24C juncto Pasal 10 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua ketentuan tersebut menentukan bahwa MK memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) serta membebani satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation).

Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi adalah :

1. menguji undang-undang terhadadap Undang-Undang Dasar;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. memutus pembubaran partai politik;

4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran yang dimaksud adalah berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

Apabila membandingkan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi pada umumnya yang berlaku pada negara lain, seperti telah disebutkan di atas, maka masih terdapat satu hal yang belum terakomodir dalam kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan tersebut adalah terkait penanganan terhadap penggaduan atau keluhan konstitusi oleh rakyat (constitutional complaint). Kenyataan tersebut bisa diartikan bahwa perlindungan hak asasi manusia setiap warga negara Indonesia yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi, ternyata belum tersedia secara lengkap mekanisme dan prosedurnya di dalam konstitusi.

Pada mekanisme judicial review yang kewenangannya diberikan kepada MK, memang telah terkandung semangat perlindungan hak-hak kontitusional warga negara. Akan tetapi, dalam mekanisme tersebut, MK melindungi hak-hak konstitusional warga negara sebatas terhadap hak konstitusional yang dilanggar oleh ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, sehingga undang-undang tersebut nantinya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Padahal, kemungkinan pelanggaran hak konstitusional warga negara tidak hanya melalui ketentuan normatif dalam suatu undang-undang. Banyak jalan dan kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara, baik oleh tindakan dari penguasa maupun oleh pihak-pihak lain.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka sudah seharusnya perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional dengan proses dan prosedur yang dimuat dalam konstitusi. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak hanya sebatas pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam konstitusi, tetapi diperlukan mekanisme perlindungan yang jelas untuk menjamin terlaksananya perlindungan tersebut. Oleh karena itu, penanganan constitutional complaint perlu diatur mekanismenya dalam konstitusi.

C. “Constitutional Complaint” dan Perwujudan Negara Hukum

Pada negara hukum modern yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Constitutional complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai salah satu alat bagi perlindungan hak asasi manusia. Constitutional complaint memberikan jaminan agar dalam proses-proses menentukan dalam penyelenggaraan negara, baik dalam pembuatan perundang-undangan, proses administrasi negara dan putusan peradilan tidak melanggar hak-hak konstitusional.

Constitutional complaint menjadi upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga negara. Proses gugatan konstitusional ini merupakan wujud pengaduan masyarakat atas keberatan terhadap perilaku kinerja pemerintah terhadap rakyat, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.

Pada prinsipnya, constitutional complaint merupakan metode untuk memperjuangkan agar hak-hak dasar seseorang tidak terciderai oleh tindakan negara. Dalam hal ini, constitutional complaint memiliki makna istimewa yaitu terkait dengan kedudukan manusia dalam sebuah negara. Setiap warga negara dalam negara hukum modern yang demokratis merupakan bagian dari pemilik kedaulatan dimana semua kekuasaan negara sesungguhnya berasal dari rakyat. Di dalam negara yang berkedaulatan rakyat, constitutional complaint menjadi semacam pengakuan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan. Melalui constitutional complaint inilah kemudian warga negara sebagai bagian rakyat yang berdaulat diikutsertakan secara efektif dalam mekanisme kelembagaan negara terutama pada proses pengawasan terhadap lembaga-lembaga konstitusional melalui peradilan konstitusional. Dengan demikian hak dan martabat manusia diakui dan dilindungi secara efektif melalui sebuah kekuasaan peradilan konstitusional.

Indonesia, menurut UUD 1945 merupakan negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis, sekaligus negara demokratis yang berdasar hukum. UUD 1945 telah mengatur dan menjamin hak konstitusional warga negara. Pengaturan dan jaminan pengakuan hak asasi manusia antara lain dinyatakan dalam Pasal 27, 28 dan 29 UUD 1945. Secara kuantitas Pasal 28 UUD 1945 telah sangat akomodatif untuk mengakui dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara. Tentu saja jaminan hak asasi manusia tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa kecuali dan tanpa membedakan warga negara dengan unsur-unsur pembeda seperti suku, ras dan agama.

Selain dalam bab Hak Asasi Manusia maupun ketentuan konstitusi yang dirumuskan dengan kata “hak”, kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan dasar, prioritas anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD (Pasal 34), atau kewajiban negara untuk menyediakan jaminan sosial, juga menimbulkan hak konstitusional bagi warga negara.

Pertanyaannya kini adalah, apakah hak-hak konstitusional yang sudah diakui dan dijamin oleh konstitusi tersebut telah benar-benar mendapat perlindungan dan telah disediakan upaya hukum yang cukup ketika hak itu dilanggar. Kasus Ahmadiyah dan kasus Majalah Playboy beberapa waktu lalu merupakan contoh kasus yang terkait dengan pelanggaran hak konstitusional (Fajar Laksono, 2007). Pada kasus Ahmadiyah, terkait dengan hak konstitusional seperti yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 tentang kebebasan beragama. Sedangkan kasus Majalah Playboy berkaitan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Kedua kasus tersebut merupakan contoh yang menunjukkan bahwa warga negara tidak berpeluang mempertahankan dan memperjuangkan hak konstitusionalnya ketika dilanggar. Padahal dalam negara hukum yang demokratis, seperti yang diinginkan Indonesia dalam UUD 1945, harapan terselenggaranya kehidupan demokratis yang berdasar hukum (rule of law) dengan adanya jaminan perlindungan konstitusional. Perlindungan tersebut, bukan hanya sebatas jaminan dan pengakuan hak-hak konstitusional warga negara, tetapi juga diharapkan untuk menentukan pula cara prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak dasar tersebut.

Dalam hal upaya perlindungan hak-hak konstitusional inilah constitutional complaint dapat dijadikan solusi dan mendapatkan tempat dalam upaya perwujudan negara demokratis yang berdasar hukum, sekaligus negara hukum yang demokratis. Dengan mengakomodir constitutional complaint ke dalam konstitusi, maka perlindungan hak-hak konstitusional akan memperoleh jaminan dan kepastian dalam pelaksanaannya, bukan sekedar normatif saja.

D. Pengaturan Penanganan “Constitutional Complaint” di Indonesia

Ide memasukkan mekanisme pengaduan konstitusi (constitutional complaint) di Indonesia telah muncul tidak lama setelah proses perubahan keempat UUD 1945 disahkan. Komisi Konstitusi dalam draf sandingan yang dikeluarkan mengusulkan agar pasal 24C Ayat (1) hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 ditambah dengan pengaturan mengenai constitutional complaint. Usulan tersebut yaitu :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan memutus pengaduan pelanggaran hak-hak konstirusional warga negara.

Berdasarkan usulan tersebut, terlihat adanya kehendak dari Komisi Konstitusi untuk memasukkan masalah constitutional complaint yang penanganannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, karena ruang lingkup tugas Komisi Konstitusi hanya melakukan kajian, bukan untuk mengajukan usulan terhadap perubahan UUD 1945 maka usulan tersebut tidak ditindak lanjuti oleh BP MPR sebagaimana terlihat dalam perubahan UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1).

Dalam perkembangan kehidupan bernegara, seperti terlihat pada dua kasus yang telah disebut di atas, terlihat adanya sinyalemen akan kebutuhan fungsi constitutional complaint di Indonesia. Selain itu, beberapa perkara yang masuk ke MK dapat dikatakan telah mengindikasikan adanya constitutional complaint dari warga negara yang merasa hak konstitusionalnya di langgar. Perkara sengketa pilkada Depok yang diajukan Badrul Kamal dan Syihabudin Ahmad serta perkara pengujian KUHP yang dimohonkan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, jika dicermati telah mengindikasikan adanya nuansa constitutional complaint (Fajar Laksono, 2007). Pengaduan konstitusional juga sudah dicoba diajukan oleh “korban” kebijakan Ujian Nasional (UN) yang disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Begitu pula penolakan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang disampaikan oleh Aliansi Bhineka Tunggal Ika kepada MK dapat dikategorikan sebagai pengaduan konstitusional.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, serta melihat kelaziman di beberapa negara, maka senada dengan usulan yang disampaikan oleh Komisi Konstitusi kiranya sudah tepat apabila diatur mengenai kewenangan memutus constitutional complaint di Indonesia dalam konstitusi. Kewenangan tersebut diserahkan kewenangannya kepada Mahkamah Konstitusi seperti yang telah diusulkan oleh Komisi Konstitusi.

Jika benar-benar constitutional complaint ingin diterapkan di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terutama mengenai penambahan kewenangan tersebut serta perlunya hukum acara yang jelas dan lengkap untuk melaksanakaannya. Mengingat permasalahan tersebut merupakan masalah konstitusional, maka penambahan kewenangan penanganan constitutional complaint ke dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat dilakukan dengan cara perubahan UUD 1945.

Kewenangan untuk merubah UUD 1945 merupakan kewenangan MPR sebagai constitutional assembly sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, harapan dimasukkannya kewenangan penanganan constitutional complaint oleh Mahkamah Konstitusi ke dalam konstitusi yakni UUD 1945, kini berada di tangan para anggota MPR yang terhormat. Seberapa peka MPR mampu menangkap sinyalemen akan pentingnya perlindungan basic rights/fundamental rights setiap warga negaranya, seberapa cerdas MPR dalam mengejawantahkan kebutuhan warga negara dan seberapa besar komitmen MPR dalam menciptakan konstitusi yang mampu mewujudkan negara hukum, menjadi kunci utamanya. Semoga, Indonesia sebagai negara hukum modern yang demokratis bisa terwujud.

E. Penutup

Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokratis yang berdasar hukum. Hal itu tercermin dalam konstitusinya yaitu UUD 1945 yang telah mengatur mengenai pengakuan dan jaminan hak-hak asasi warga negaranya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negaranya belum diatur dalam suatu proses dan prosedur yang jelas dan lengkap di dalam konstitusi. Oleh karena itu, untuk lebih memantapkan arti negara demokrasi dan negara hukum maka upaya melindungi dan mempertahankan hak-hak konstitusional bagi warga negaranya perlu ditentukan dalam mekanisme konstitusi. Pemberian kewenangan penanganan constitutional complaint ke dalam Mahkamah Konstitusi dapat diartikan sebagai upaya dalam melindungi dan mempertahankan hak konstitusional warga negara. Pengaturan penanganan constitutional complaint dapat diharapkan kepada MPR sebagai constitutional assembly yang mempunyai kewenangan dalam merubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna mewujudkan negara Indonesia yang benar-benar sebagai negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokratis yang berdasar hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta : Konpress.

Huda, Ni’matul. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

________, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Laksono, Fajar. 2007. Meretas “Constitutional Complaint” ke dalam UUD 1945 menuju Konstitusi yang Lebih Demokratis. Jurnal Konstitusi vol.4 (4) : h.128-146.

MD, Moh. Mahfud. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Sumantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung : Alumni.

Syahuri, Taufiqurrohman. 2004. Hukum Konstitusi : Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002. Bogor : Ghalia Indonesia.

Satu Tanggapan

  1. pak kenapa gak d potong aja artikel nya biar keliatan rapih gtu

Tinggalkan komentar